Di tengah tren game digital dan kartu koleksi berbasis fantasi, sebuah trading card game dari kota kecil Kawara, Prefektur Fukuoka, mencuri perhatian. Bukan karena efek visualnya, melainkan karena karakternya—pria-pria paruh baya dari komunitas lokal yang dijadikan tokoh utama dalam kartu (Ojisan Trading Card Game). Lewat pendekatan unik ini, game tersebut justru berhasil menghubungkan generasi muda dengan relawan yang ada di sekitar mereka.

Bagaimana Game Ini Dimulai

Permainan ini lahir dari inisiatif Eri Miyahara, Sekretaris Jenderal Dewan Komunitas Saidosho. Awalnya, ia melihat adanya jarak antara anak-anak dan orang dewasa di komunitasnya. Banyak anak enggan menyapa orang tua, dan orang dewasa pun khawatir dianggap mencurigakan jika mencoba memulai percakapan. Dari situ muncul ide untuk mengenalkan para relawan lokal dalam bentuk media yang akrab dengan anak-anak, yaitu kartu.

Ide ini berkembang pesat. Kartu-kartu yang awalnya hanya dibuat untuk dikenalkan, kini menjadi trading card game yang dimainkan dengan penuh antusias oleh anak-anak di Kawara. Mereka bukan hanya mengoleksi, tetapi juga memainkan kartunya dan terinspirasi oleh tokoh di dalamnya.

Konsep Kartu yang Sederhana Tapi Bermakna

Daimitsu Fujii dengan kartu All-Rounder
Senkai via JAPAN Forward

Trading card game ini dikemas dalam format yang familiar bagi kamu yang suka game seperti Pokemon atau Yu-Gi-Oh!. Tapi alih-alih monster atau pahlawan fantasi, kartunya menampilkan ojisan — istilah Jepang untuk pria paruh baya atau lansia — yang berasal langsung dari komunitas Saidosho.

Setiap kartu menampilkan foto atau ilustrasi ojisan lokal lengkap dengan julukan, elemen seperti api atau listrik, serta kemampuan unik yang mencerminkan keahlian mereka di dunia nyata. Misalnya, kartu Firewall menggambarkan Kakuji Honda, mantan kepala pemadam kebakaran, dengan jurus “Super Guard.” Ada juga Kazuo Takeshita, seorang soba master, dan Daimitsu Fujii, mantan petugas pemasyarakatan yang aktif sebagai relawan, dijuluki All-Rounder.

Setiap kartu dilengkapi HP, MP, dan deskripsi karakter yang menjelaskan kontribusi atau kemampuan khas dari tokoh tersebut. Beberapa kartu bahkan diberi sentuhan komedi, seperti Plasma Conductor yang menggambarkan tukang servis elektronik lokal dengan latar bola lampu.

Ketika Kartu Koleksi Berubah Jadi Permainan

Nishinippon Shimbun via THE JAPAN TIMES

Awalnya, trading card game ini hanya dimaksudkan sebagai kartu koleksi edukatif untuk mengenalkan anak-anak pada sosok relawan di lingkungan mereka. Namun, antusiasme yang besar membuat anak-anak mengembangkan permainan sendiri. Mereka mulai membandingkan statistik, menyusun strategi, dan membuat format permainan berbasis kartu.

Melihat semangat ini, tim komunitas merespons dengan membuat aturan sederhana agar kartunya bisa dimainkan. Dalam versi resmi yang kini digunakan, permainan menilai kekuatan berdasarkan elemen dan kemampuan tokoh. Bahkan, tingkat kelangkaan kartu (rarity) ditentukan oleh kontribusi nyata para tokoh di komunitas. Semakin aktif seorang ojisan dalam kegiatan sosial, semakin tinggi potensi kartunya untuk di-upgrade menjadi versi shiny dengan laminasi khusus.

Kartu ini hanya dijual di pusat komunitas Saidosho. Paket isi 3 kartu dibanderol JPY 100, sementara paket isi 6 kartu — dengan peluang berisi kartu shiny — dijual seharga JPY 500. Semua kartu diproduksi manual oleh tim komunitas, dan karena peminatnya terus bertambah, stok sering habis dalam waktu singkat.

Game yang Menghidupkan Komunitas

Efek dari trading card game ini lebih besar dari yang dibayangkan. Anak-anak yang tadinya enggan menyapa orang dewasa, kini mulai mengenali para relawan yang muncul di kartu. Daimitsu Fujii, salah satu tokoh paling populer, bahkan sering dimintai tanda tangan oleh anak-anak yang mengenal wajahnya dari kartu All-Rounder.

Kegiatan komunitas pun makin hidup. Anak-anak ikut kerja bakti, menghadiri acara lingkungan, dan memperlihatkan rasa hormat terhadap para ojisan yang dulunya nyaris tak mereka kenal. Para pria paruh baya ini kini menjadi tokoh panutan yang nyata, bukan karena kekuatan fiktif, tetapi karena kontribusi sehari-hari mereka di masyarakat.

Game ini telah menjadi penghubung lintas generasi, di mana nilai seperti gotong royong dan penghargaan terhadap sesama bisa disampaikan melalui media yang relevan bagi anak-anak masa kini.

Respons terhadap Representasi dan Nilai Sosial

Meski banyak perempuan juga aktif dalam kegiatan relawan, sebagian besar memilih untuk tidak ditampilkan dalam kartu. Beberapa merasa kurang nyaman jika digambarkan dalam konteks permainan bertema pertarungan. Keputusan ini dihormati oleh tim pembuat, sehingga kartu-kartu yang tersedia saat ini hanya menampilkan tokoh pria.

Sebagai bentuk kepekaan lainnya, permainan ini juga mendorong penggunaan bahasa yang lebih ramah. Anak-anak tidak diajarkan untuk menyebut lawan mereka “kalah” atau “mati”. Sebagai gantinya, mereka menggunakan istilah yuzutta, yang berarti “menyerah secara damai”, terinspirasi dari nama ruang kesehatan sekolah mereka. Pendekatan ini menciptakan lingkungan bermain yang lebih positif dan menghormati tokoh asli di balik kartu.

Fenomena yang Mulai Menyebar

Keunikan trading card game ini tidak berhenti di Saidosho. Beberapa daerah lain mulai terinspirasi dan membuat versi lokal mereka. Di Aomori, hadir Fisherman Cards yang menampilkan nelayan lokal dengan kostum kappa. Sementara di Toyohashi, dibuat kartu bertema petugas kembang api lengkap dengan nama dan cerita latar belakang mereka.

Project ini bahkan telah menarik perhatian Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang (MIC), yang melihat potensi game ini sebagai model revitalisasi komunitas. Dengan menggabungkan unsur edukasi, apresiasi lokal, dan elemen permainan, trading card game semacam ini membuka peluang baru untuk membangun hubungan antargenerasi di kota-kota kecil Jepang.

Dengan cara yang sederhana dan penuh makna, trading card game dengan tokoh ojisan membuktikan bahwa sebuah permainan tidak harus megah untuk memberikan dampak besar. Ketika anak-anak mulai mengenal, menyapa, dan menghargai orang-orang di sekitarnya lewat kartu sederhana buatan tangan, itulah bukti bahwa game bisa memperkuat komunitas — satu kartu demi satu.

Source: JAPAN Forward

Tokyo Game Show 2025 Special Report

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini